Kamis, 27 Oktober 2011

Raditya Dika


Pemuda yang biasa dipanggil Radith ini lahir di Jakarta, 28 Desember 1984 dengan nama lengkap Raditya Dika. Radith adalah seorang penulis asal Indonesia yang dikenal sebagai penulis buku-buku jenaka. Tulisan-tulisan itu berasal dari blog pribadinya yang kemudian dibukukan. Buku pertamanya, Kambing Jantan, masuk dalam kategori best seller.

Buku tersebut menceritakan kehidupan Dikung (Radith) saat berkuliah di Australia. Tulisan Radith bisa digolongkan sebagai genre baru. Saat ia merilis buku pertamanya, belum banyak yang masuk dalam dunia tulisan komedi, apalagi yang bergaya diari pribadi.

Karya pertama yang mengangkat namanya adalah buku berjudul Kambing Jantan: Sebuah Catatan Harian Pelajar Bodoh (2005). Buku ini menceritakan kehidupan Radith ketika masih berkuliah di Adelaide, Australia, dan ditampilkan dalam format buku harian. Seluruh cerita dalam karyanya tersebut berasal dari blog pribadi terdahulu milik Radith, www.kambingjantan.com, yang sekarang menjadi www.radityadika.com.

Buku keduanya, Cinta Brontosaurus, diterbitkan pada tahun 2006. Hampir sama dengan buku sebelumnya, cerita-cerita dalam buku ini berasal dari kisah keseharian Radith. Namun, buku ini menggunakan format cerpen yang bercerita mengenai pengalaman cinta Radith yang sepertinya selalu tidak beruntung, meliputi kisah dari sewaktu Radith mengirimkan surat cinta pertamanya ke teman saat SD, sampai pengalaman Radith memperhatikan kucing Persia-nya yang jatuh cinta dengan kucing kampung tetangganya.

Buku ketiganya yang berjudul Radikus Makankakus: Bukan Binatang Biasa terbit pada tanggal 29 Agustus 2007 lalu. Buku ini sekali lagi mengisahkan pengalaman hidup Radith, dari pengalamannya menjadi badut Monas dalam sehari, hingga saat dikira hantu penunggu WC. Sementara, buku keempatnya yang bercerita tentang pengalaman Radith dengan makhluk gaib, berjudul Babi Ngesot: Datang Tak Diundang Pulang Tak Berkutang, terbit pada bulan April 2008 lalu.

I a juga bermain dalam film yang diangkat dari pengalaman hidupnya, Kambing Jantan: The Movie. Buku kelimanya, Marmut Merah Jambu, yang bercerita tentang pemikiran Radith tentang cinta, terbit pada 1 Juni 2010.

Radith mengawali keinginan untuk membukukan catatan hariannya di blog pribadinya saat ia memenangi Indonesian Blog Award. Radith juga pernah meraih penghargaan bertajuk The Online Inspiring Award 2009 dari Indosat.

Dari pengalaman itu, ia cetak tulisan-tulisannya di blog kemudian ia tawarkan naskah  cetakan ke beberapa penerbit untuk dicetak sebagai buku. Awalnya banyak yang menolak, tapi kemudian naskah itu diterima oleh Gagasmedia, meski harus presentasi dulu.

Radith suskes menjadi penulis karena ia keluar dari arus utama. Ia tampul dengan genre baru yang segar. Yang membuat Radith berbeda dengan penulis lain adalah nama binatang yang selalu ia pakai dalam judul-judul bukunya. Bagi Radith, ini adalah selling point-nya.

Bagi Radith, sebagai penulis tetap harus memiliki inovasi. Sebenarnya, pada awalnya buku pertamanya tidak terlalu laku. Ini, menurut Radith, adalah resiko masuk genre baru.

Radith kemudian gencar berpromosi di blog yang ia kelola. Selain itu ia juga gencar promosi dari mulut ke mulut (word of mouth). Radith meminta pembacanya untuk berfoto dengan buku pertamanya itu kemudian dikirim ke Radith.

Jadilah ini sebuah strategi pemasaran yang bisa mengelola pembaca sebagai target pasarnya. Menurut Radith, dalam menulis, tidak serta-merta setelah buku terbit, urusan selesai. Kemudian, pemasaran diserahkan kepada penerbit.

Sebaliknya, penulis seharusnya juga menjadi pemasar bagi bukunya sendiri karena sebenarnya penulis juga seniman. Penulis yang kreatif akan menjadikan bukunya sebagai produk yang baginya harus bisa laku di pasaran.

Meskipun pada dasarnya buku adalah bukan barang komersial, tetapi memandang buku sebagai sebuah produk berilmu yang pelu dipasarkan adalah sebuah hal yang perlu dilakukan saat ini.

Menjadi penulis sukses bukan berarti tidak ada hambatan. Menurut Radith, hambatan bukan hanya dari industri buku, melainkan juga dari hal-hal yang sifatnya diagonal. Artinya, lawan dari industri buku bisa jadi bukan industri buku lain tapi industri lain yang sebenarnya tidak berhubungan sama sekali seperti hiburan (entertainment), makanan, dan lain-lain.

Sebagai contoh, bila ada anak muda memiliki uang 50.000 rupiah, belum tentu ia akan membelanjakannya untuk buku. Bisa jadi uang itu digunakan untuk menonton film di bioskop atau membeli makanan cepat saji. Dan yang jelas, buku bukan pilihan utama.

Bagi Radith hal ini memang sudah lazim. Yang perlu dilakukan adalah terus berkreasi dan bertindak kreatif. Baginya, kompetisi yang ada adalah kunci untuk berinovasi. Tekanan kompetitor bisa menjadi motivasi untuk terus memberikan ide-ide baru dan menggali kemampuan.

Radith kini meneruskan studinya di program ekstensi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Indonesia. Selain itu, kini ia berkarier di penerbit buku Bukune. Radith bertindak sebagai direktur juga sebagai direktur dan pemimpin redaksi.

Rabu, 26 Oktober 2011

"Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia"


Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah “menggusur” sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula.

Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa masyarakat kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Pasifik (mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di Nusantara.

Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru (atau lebih tepat manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih.

Dengan demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya).

Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di dunia.

Politik Bahasan dan Politik Sastra

Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya paradigma tentang “pembinaan” dan “pengembangan” bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah ditentukan oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh
mekanisme “pasar”. Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan “bahasa yang baik dan benar”. Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.

Di dalam kehidupan sastra juga diperlukan suatu politik sastra. Sastra Indonesia harus lebih dimasyarakatkan, tidak saja untuk bangsa Indonesia, tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas. Penerbitan karya-karya sastra harus dilakukan dalam jumlah yang besar. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi semestinya menjadi tempat untuk membaca karya-karya sastra. Pengajaran sastra haruslah menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran.

Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek perubahan, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia) amat potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global.

Jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke arah itu. Bahasa Melayu (dan Indonesia) harus siap menerima peranan yang demikian. Sastra Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah dunia yang global. Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu. Untuk itu, diperlukan suatu politik bahasa ( dan sastra) yang terbuka, bukan bersifat defensif.

Oleh:Prof. Dr. Mursai Esten

Sumber: Forum Bahasa dan Sastra

Marmut Merah Jambu oleh Raditya Dika

Pengarang: Raditya Dika
Harga: Rp. 39.500,-
Tebal: 218
Penerbit: Bukune

Satu lagi buku best seller karya Radith. Marmut Merah Jambu adalah buku ke-lima dari Raditya Dika yang resmi terbit pada tanggal 1 Juni 2010 lalu. Kalau kalian berekspektasi untuk bisa tertawa ngakak dengan perut kaku sampai guling-guling, hal itu mungkin tidak akan kalian dapatkan, karena 13 chapter dari buku tersebut membahas tentang cinta, walaupun ada juga beberapa chapter dengan tema lain. Semua tentang cinta, mulai dari indahnya saat-saat PDKT , cinta yang diam-diam, saat cinta ditolak, bahkan ada juga chapter tentang naksir seorang teman chatting dalam chapter Cinta diatas Sepotong Chatting.

Buku ini secara keseluruhan cukup menarik, dan pembahasan tentang cintanya menurut saya mengena banget, terutama tentang jatuh cinta diam-diam, yang mungkin pernah dirasakan semua orang. Gaya bahasa dan penggunaan kata yang digunakan Radith juga sangat mengena, membuat pembacanya seperti benar-banar menyaksikan langsung adegan-adegan yang ada di buku. Alurnya juga mudah diikuti. Pembaca bahkan bisa ikut merasakan gimana rasanya patah hati waktu membaca cerita tentang radith yang cintanya bertepuk sebelah tangan, Radith yang memilih untuk merelakan orang yang dicintainya dan cuma bisa berdoa semoga orang itu dapat yang terbaik.

Harga yang di bandrol cukup mahal untuk kategori PELIT (personal literature) untuk pelajar atau mahasiswa yang uang sakunya pas-pasan. Tapi untuk pre-order mendapat diskon 20%.

Well, secara keseluruhan buku ini layak dibaca untuk kita bisa mengerti dan merasakan cinta, karena cinta membutuhkan konsekuensi.

Sumber: Hana3's Weblog

"Tuhan Selalu Bersamaku"

Suatu malam aku bermimpi, aku berjalan-jalan di sepanjang pantai bersama dengan Tuhanku. Melintasi babak-babak hidupku yang sangat gelap dan hitam. Pada setiap babak hidupku, aku melihat dua pasang jejak kaki. Yang sepasang milikku dan yang sepasang lagi milik Tuhanku. Aku dan Tuhanku terus berjalan menyusuri lorong-lorong kehidupanku, melewati babak-babak kehidupan yang tak kunjung berakhir.
            Aku terus berjalan bersama Tuhanku, tak kurasakan lelah sedikitpun. Aku hanya ingin terus berjalan bersama Tuhanku, di sepanjang pantai dan di atas dua pasang jejak kaki yang terus mengiringi langkah kami. Aku sangat menikmati perjalanan hidupku bersama Tuhanku dan dua pasang jejak kaki.
            Ketika sampai pada babak terakhir, terkilas sesuatu dihadapanku. Aku menengok ke arah jejak-jejak kaki yang ada. Oh! Betapa terkejutnya aku. Saat itu aku hanya melihat sepasang jejak kaki. Lantas, dimanakah sepasang jejak kaki yang lainnya?
            Kulihat bahwa sesekali di sepanjang hidupku, aku hanya menemukan sepasang jejak kaki. Aku tersadar bahwa ini terjadi justru di saat hidupku berada dalam keadaan yang paling menyedihkan. Aku tak menemukan sepasang jejak kaki yang lainnya. Dimana mereka sekarang?
            Aku sangat bingung dan dilema. Di babak terakhir dalam hidupku ini, tak kutemukan sepasang jejak kaki yang lain. Aku ingin kembali ke babak sebelumnya, untuk  melihat kembali dua pasang jejak kaki yang berjalan dan bercakap-cakap di sepanjang pantai. Sepasang jejak kaki milikku dan sepasang lagi milik Tuhanku.
            Namun mengapa? Mengapa saat aku tiba di babak terakhir, aku hanya menemukan sepasang jejak kaki. Aku sangat sedih dan hal ini sangat menggangguku. Aku pun bertanya kepada Tuhanku tentang dilema dan kebingunganku ini.
            “Tuhan! Ketika aku mengambil keputusan untuk mengikuti-Mu, Engkau berjanji akan selalu berjalan dan bercakap- cakap denganku di sepanjang jalan hidupku. Tapi mengapa, Ya Tuhanku? Di dalam masa yang paling sulit di dalam hidupku, hanya ada sepasang jejak kaki. Aku benar- benar tidak mengerti, Tuhanku. Mengapa disaat aku memerlukanMu, Engkau justru meninggalkan aku. Mengapa, Ya Tuhanku?“ Keluhku dengan mata yang berlinang air mata membasahi tanah hati ini.
“HambaKu, Aku sangat mengasihimu. Dan sekalipun Aku tak akan pernah meninggalkan dan membiarkanmu. Terutama sekali ketika percobaan dan ujian datang menderamu. Bila engkau hanya melihat hanya ada sepasang jejak kaki, itu karena engkau berada dalam gendonganKu.“ Jawab Tuhanku dengan lembut.
            Dan saat mendengar pernyataan Tuhanku, aku tersadar. Bahwa Tuhanku sama sekali tak meninggalkanku disaat aku berada di masa yang paling sulit dalam hidupku. Aku sadar, Tuhanku sama sekali tak pernah meninggalkan apalagi membiarkanku disaat aku membutuhkanNya. Tuhanku begitu baik, Dia tak pernah membiarkan aku bersedih dan terpuruk saat ujian dan cobaan datang kepadaku. Namun, Dia justru mendekapku dalam gendonganNya.
            Kini, aku tak bingung dan dilema lagi. Kisah sepasang jejak kaki tak menggangguku lagi. Karena, kini aku tahu dan mengerti. Tuhanku selalu menuntun dan menggendongku disaat aku berada di dalam masa yang paling sulit dihidupku.
            Dan aku sadar, Tuhan tidak pernah memejamkan matanya sedikitpun. Dia akan selalu mengawasiku dan menjagaku disepanjang jalan hidupku.Tuhan selalu bersamaku, bahkan di setiap hembus nafasku. Disetiap detik hidupku, disetiap detak jantungku, disetiap aliran darahku dan disetiap kedipan mataku.
            Tuhan tak sedikitpun membiarkanku berada dalam kesulitanku, hanya Dialah yang menemaniku. Dan hanya Dialah penguasa hati dan jiwaku, Dialah kekasihku untuk selamanya.Seumur hidupku, hingga aku tak bernafas lagi dan sampai aku menutup mata. Mensucikan diri untuk kembali padaNya dan kembali merangkai kisah cintaku bersamaNya, sang Tuhanku Yang Maha Esa.
            Saat ini, aku tak perlu risau. Saat ujian datang dan menghantuiku silih berganti. Karena, Tuhan akan selalu bersama denganku, di sepanjang jalan hidupku. Tuhan mencintaiku. Aku pun demikian. Tuhan, dengarkan lisanku. Tuhan, aku sangat mencintaiMu.

Ditulis oleh: Natassia Eka Cendika
Disunting oleh: Avita Verawati Dj.

"Pemuda"

Bertobat dan bertobatlah
agar tidak lagi terjebak
dalam lumpur kemalasan
dalam genangan perilaku tiada guna
dalam lilitan kelemahan jiwa



Pemuda itu cahaya
dan api yg menyala
yg dapat menerangi kegelapan
asa dan harapan
Pemuda itu pelopor
pembawa obor masa depan
penggerak nurani tua yg gersang



Pemuda itu Enerjik
dinamis
gelisah
selalu bergeliat
tak sabar akan waktu yg lambat
marah pada kondisi stagnan
yg tak berubah
karena perubahan bukti harapan
karena kemajuan tanda kedinamisan
karena kediaman adalah kematian
walau jasad bergerak
walau jantung berdegup
tapi jiwamu mati
dan liang kuburmu
adalah dirimu sendiri